Senin, 22 Juli 2013

shering

“AZAB PEDIH UNTUK ORANG YANG TIDAK MAU DIAM PADA SAAT ADZAN DIKUMANDANGKAN”

Sisakanlah sedikit waktu Anda untuk membaca ini.
Renungkanlah ini sejenak …

mengapa banyak orang kelu lidahnya di saat kematian ?

Kebanyakan orang yang nazak, saat hampir tiba ajalnya, tidak
dapat berkata apa-apa …

Lidahnya kelu, keras dan hanya mimik mukanya yang menahan
kesakitan ‘sakaratul maut’.

Ini sebabnya adalah kebiasaan remeh kita yang sering tidak
mendiamkan diri saat adzan berkumandang.

Diriwayatkan sebuah hadist: “Hendaklah kamu mendiamkan diri
ketika azan, jika tidak Allah akan kelukan lidahnya ketika maut
menghampirinya. ”

Ini jelas menunjukkan, kita disarankan agar mendiamkan diri
dan jangan berkata apa- apapun semasa azan berkumandang.

Sebagai seorang Muslim, kita wajib menghormati azan. Azan itu
Banyak fadhilahnya (keuntungan).

Sebuah hadist shahih berbunyi “Seandainya mereka mengetahui
apa yang terkandung dalam adzan dan barisan pertama (dalam shalat berjamaah), kemudian mereka tidak mendapatin ya kecuali
dengan cara mengundinya, pasti mereka mengundinya” (Bukhari dan Muslim).

Jika terhadap lagu kebangsaan saja kita diajari agar berdiri tegak
dan diamkan diri, mengapa ketika azan yang merupakan panggilan
Allah, kita tidak mendiamkan diri?

Itulah makanya, Allah mengkelukan lidahnya saat sakaratul maut datang.

Kita takut dengan kelunya lidah ketika ajal hampir tiba dengan
tidaksanggup mengucap kalimah “LailahaillAllah …”.

Padahal barangsiapa yang dapat mengucapkan kalimat ini ketika
nyawanya akan dicabut Allah, dengan izin-Nya Allah menjanjikan
masuk syurga.

Oleh karena itu, marilah kita sama- sama menghormati azan dan
mohon kepada Allah supaya lidah ini tidak kelu ketika nyawa kita
sedang dicabut.

“Ya Allah! Anugerahkanlah kematiankami dengan kematian yang baik lagi mulia, lancarkan lidah kami mengucap kalimat
“LailahaillAlla h..” ketika sakaratul maut menghampiri kami.

Aamiin ya Rabbal‘alamiin. .

Jumat, 19 Juli 2013

Pengertian,pembuka, dan pendalaman

Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah

Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah perpaduan dari dua buah tarekat besar, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah. Pendiri tarekat baru ini adalah seorang Sufi Syaikh besar Masjid Al-Haram di Makkah al-Mukarramah bernama Syaikh Ahmad Khatib Ibn Abd.Ghaffar al-Sambasi al-Jawi (w.1878 M.). Beliau adalah seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib adalah mursyid Thariqah Qadiriyah, di samping juga mursyid dalam Thariqah Naqsabandiyah. Tetapi ia hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Thariqah Qadiriyah saja. Sampai sekarang belum diketemukan secara pasti dari sanad mana beliau menerima bai'at Thariqah Naqsabandiyah.

Sebagai seorang mursyid yang kamil mukammil Syaikh Ahmad Khatib sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Karena dalam tradisi Thariqah Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mempunyai derajat mursyid. Karena pada masanya telah jelas ada pusat penyebaran Thariqah Naqsabandiyah di kota suci Makkah maupun di Madinah, maka sangat dimungkinkan ia mendapat bai'at dari tarekat tersebut. Kemudian menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, yaitu Thariqah Qadiriyah dan Thariqah Naqsabandiyah dan mengajarkannya kepada murid-muridnya, khususnya yang berasal dari Indonesia.

Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut karena pertimbangan logis dan strategis, bahwa kedua tarekat tersebut memiliki inti ajaran yang saling melengakapi, terutama jenis dzikir dan metodenya. Di samping keduanya memiliki kecenderungan yang sama, yaitu sama-sama menekankan pentingnya syari'at dan menentang faham Wihdatul Wujud. Thariqah Qadiriyah mengajarkan Dzikir Jahr Nafi Itsbat, sedangkan Thariqah Naqsabandiyah mengajarkan Dzikir Sirri Ism Dzat. Dengan penggabungan kedua jenis tersebut diharapkan para muridnya akan mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih mudah atau lebih efektif dan efisien. Dalam kitab Fath al-'Arifin, dinyatakan tarekat ini tidak hanya merupakan penggabungan dari dua tarekat tersebut. Tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi berdasarkan ajaran lima tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah, Tarekat Anfasiyah, Junaidiyah, dan Tarekat Muwafaqah (Samaniyah). Karena yang diutamakan adalah ajaran Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah, maka tarekat tersebut diberi nama Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Disinyalir tarekat ini tidak berkembang di kawasan lain (selain kawasan Asia Tenggara).

Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadlu' dan ta'dhim Syaikh Ahmad Khathib al-Sambasi terhadap pendiri kedua tarekat tersebut. Beliau tidak menisbatkan nama tarekat itu kepada namanya. Padahal kalau melihat modifikasi ajaran yang ada dan tatacara ritual tarekat itu, sebenarnya layak kalau ia disebut dengan nama Tarekat Khathibiyah atau Sambasiyah, karena memang tarekat ini adalah hasil ijtihadnya.

Sebagai suatu mazhab dalam tasawuf, Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memiliki ajaran yang diyakini kebenarannya, terutama dalam hal-hal kesufian. Beberapa ajaran yang merupakan pandangan para pengikut tarekat ini bertalian dengan masalah tarekat atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Metode tersebut diyakini paling efektif dan efisien. Karena ajaran dalam tarekat ini semuanya didasarkan pada Al-Qur'an, Al-Hadits, dan perkataan para 'ulama arifin dari kalangan Salafus shalihin.

Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu : tentang kesempurnaan suluk, tentang adab (etika), tentang dzikir, dan tentang murakabah.